Total Tayangan Halaman

Minggu, 05 Mei 2013

Mengapa Sulit Melarang Perburuan Hiu?

Oleh: Heru Budhiarto

Setiap tahun, ada lebih dari 100 juta hiu, predator puncak dalam rantai makanan, lenyap dari laut. Berarti, setiap hari hampir 280 ribu atau lebih dari 11.500 hiu yang hilang per jam. Data tersebut terungkap dari WWF Indonesia dan studi yang dipublikasikan oleh jurnal “Marine Policy” awal tahun ini. Sebagian besar hiu tersebut ditangkap untuk dibunuh, kemudian dijual, terutama siripnya. Padahal, sebuah ekosistem bisa punah jika kehilangan predator puncak.
Penangkapan besar-besaran tersebut secara tidak langsung telah berakibat punahnya beberapa jenis hiu di dunia. Hal ini diperparah lagi dengan kenyataan bahwa hiu baru mampu bereproduksi pada usia 15 tahun. Sedangkan siklus reproduksinya 3 tahun sekali dengan jumlah anak maksimal 10 ekor dalam sekali reproduksi.

Mirisnya kondisi yang dialami habitat hiu ini telah mengundang 177 negara untuk bersama-sama meningkatkan pengamanan terhadap hiu dan sejenisnya. Semua itu tertuang dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) di Bangkok yang berakhir minggu lalu. Indonesia pun turut serta dalam upaya menurunkan angka penangkapan hiu.

Namun, seperti dituturkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo upaya penanggulangan tersebut terus menemui kendala serius. Di antaranya, kata dia, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat atas pentingnya peran hiu dalam ekosistem, ketergantungan masyarakat secara ekonomi terhadap penjualan sirip ikan hiu, dan aturan undang-undang yang memang belum sepenuhnya melarang penangkapan ikan hiu.

Karena itu, kata Cicip, perburuan ikan hiu di Indonesia masih akan terus berlanjut selama masih ada pembeli yang menerima penjualan sirip serta longgarnya peraturan undang-undang yang ada. “Butuh pendekatan holistik secara ekonomi politik untuk mengatasi masalah tersebut, terutama memperkuat regulasi dan penegakan hukum dilapangan terhadap negara penerimanya,” jelas Sharif.

Lebih jauh Cicip menjelaskan, dalam konteks pembentukan regulasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah menyusun peraturan perundangan berupa Peraturan Menteri guna mengakomodir kesepakatan Convention On International Trade In Endangered Species (CITES) yang memasukan empat spesies hiu ke dalam daftar Appendix II CITES. "Ini berarti kegiatan penangkapan hiu masih tetap diperbolehkan tapi dengan pengaturan yang lebih ketat," tegas Sharif.

Untuk level pemerintah daerah, Kabupaten Raja Ampat telah membuat Perda No. 9/2012 tentang Larangan Penangkapan Ikan Hiu, Pari Manta dan jenis-jenis Ikan Tertentu di Perairan Laut Kabupaten Raja Ampat. Hal ini menandakan komitmen Pemda dalam menjaga jenis ikan rawan terancam punah. "Kabupaten Raja Ampat menjadi kabupaten pertama yang mengeluarkan perda untuk melindungi biota laut yang terancam punah," tandas Sharif.

Selama ini, hiu – terutama yang diburu adalah siripnya – memiliki pasar yang sangat besar di Cina. Namun sejak pertengahan tahun lalu, pemerintah Negeri Tirai Bambu sudah melarang penjualan sup sirip hiu. Begitu juga dengan di Hong Kong. Negara lain yang menjadi pasar sirip hiu cukup besar adalah Kamboja dan Jepang.

Berupaya menghancurkan mitos akan salah satu predator laut paling ditakuti, Ocean Ramsey berenang tanpa pelindung dengan hiu putih besar. Hiu sepanjang 5,1 meter ini bahkan 'membolehkan' Ocean Ramsey mengikutinya ke bawah laut. Lihat petualangannya.Sumber Bacaan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar